About

Wednesday, June 18, 2014

Sekolah Mimpi Dari Kampung Seberang

Jam dinding telah menunjukkan pukul 20.30. malam pun telah menyatu dengan sepi, suara binatang yang tak asing lagi mencoba memecah keheningan malam ini. Kupandangi bintang dari balik jendela, hayalku pun melambung tinggi dan mencoba berada diantara bintang-bintang yang ada di langit, merasakan keindahannya.
Belum tidur nak? Serentak hayalku pun terpecah oleh suara dibalik pintu kamarku
Belum bu. Jawabku singkat
Apa ada sesuatu yang engkau pikirkan?
Tidak ada apa-apa bu.
Yang sudah, lekas tidur.
Suaranya pun berlalu ketika kupalingkah wajahku tuk kedua kalinya.
Kicauan burung menyambutku pagi ini dari tidur semalam, mentari telah menampakkan sinarnya diantara dedaunan dari upuk timur. Tak ada yang beda hari ini. Ya, kurang lebih seperti kemarin, benar-benar tak ada yang berubah (bisikku dalam hati). Aku berjalan melewati pintu rumah yang hendak roboh dari asalnya, kuberdiri sejenak hingga kupandangi dari sisi mataku dua anak berjalan beriringan melintas depan rumahku dengan seragam putih biru, dengan ransel yang berada dipunggung mereka masing masing
dan dilengkapi dengan sepatu yang masih dalam anganku. Mereka adalah teman lamaku, ya, teman lama. Teman ketika kami masih kecil, teman ketika kami menghabiskan waktu untuk bermain bersama. Namun kini, mereka sangat beruntung, beruntung karena aku tak bisa menjadi mereka yang hanya menghabiskan waktu dijalanan.
Aku kembali masuk ke rumah, namun sepertinya ibu telah meninggalkan rumah sebelum aku bangun tadi. Kuperiksa panci yang menggantung di dinding namun tak sedikitpun kutemui makanan di sana. Kondisi ini bukan hal yang baru buatku, sarapan pagi bukan kebiasaan keluarga kami, makan siang dan malam pun layaknya sebuah undian yang mengharap keberuntungan.
Seketika kumelangkah keluar rumah menuju tempat peraduanku setiap hari, mencari seenggok rejeki yang mungkin dititpkan Tuhan untukku pagi ini. Menjajakan koran dipersimpangan jalan menjadi aktivitas yang harus ku jalan setiap hari, hal yang tak mudah karena harus bertarung melawan terik matahari dan debu jalanan namun setidaknya hal inilah yang menjadi pengharapan untuk makan siang ini. Sementara ibuku sendiri aku tak tahu, entah ke kampung mana lagi untuk menggendong keranjangnya sebagai penjual jamu.
Surat kabar yang ku jajakan tak selamanya habis terjual. seperti pagi ini, hanya beberapa eksemplar yang terjual sehingga sisanya harus kukembalikan kepemasok. Ketika berjalan melintasi trotoar, aku tiba-tiba tergelitik dengan berita bertuliskan tebal pada koran yang masih ada ditanganku “Fakir Miskin dan Anak jalanan Dipelihara Oleh Negara”, sementara dari sisi lain hal yang tak kalah menggelitik buatku adalah tulisan tentang “Setiap Warga Negara Berhak Mendapatkan Pendidikan”.
Sepertinya saya telah salah, pekerjaan ini membawaku pada kebehongan besar karena menyebarkan tipu daya pemerintah, Dua hal yang sangat jauh dari kondisiku hari ini. Tapi apa peduliku dengan ini, persetan dengan pemerintah negeri ini, persetan dengan kebohongan-kebohongan yang mereka lontarkan, yang pastinya aku bisa makan hari ini.
Tak dapat ku pungkiri, mengenakan seragam sekolah dan berada diantara teman-teman tetap menjadi mimpiku hari ini. Aku bahkan telah lupa tentang bagaimana rasanya berada dalam ruangan kelas, hari itu telah lama berlalu dan kini hanya menjadi mimpi-mimpi diantaran jutaan harapan yang mencoba menggerogoti dalam setiap langkahku. Aku melawan asa dalam tangisku, kembali merasakan ketidak adilan tuhan dalam menciptakan manusia sepertiku.
Setelah menjajakan koran dan mengembalikan sisa yang tak terjual kepemasok, aku bejalan pulang dengan membawa uang hasil keringanku, tak banyak, namun cukup untuk membeli makanan. Atau setidaknya dapat menyambung hidup hari ini. Aku tak dapat membendung asa dalam diri saat terbayang kehidupan ini. Akankah hal ini akan terus berlanjut hingga yang akan lahir pun akan merasakannya.
Saat berjalan pulang, aku tak langsung ke rumah, namun lebih memilih beristirahat di kolom jembatan, tempat berkumpul orang-orang sepertiku, pengamen, pengemis, pemulung, menjadikan kolom jembatan sebagai rumah mereka, karena rumah yang sesungguhnya kurang lebih seperti neraka yang hanya memberikan kesedihan. Aku duduk dan bersandar ditembok penopang jembatan sambil memperhatikan kendaraan yang berlalu lalang, kendaraan yang sibuk setiap hari entah persoalan apa. Mata mulai lelah hingga tanpa sadar ku tertidur. Dalam nyenyaknya tidur hingga kuterbawa mimpi, mimpi yang menakutkanku karena semua kembali membayangiku dalam kehidupan yang sesungguhnya. Semenyedihkan inikah hidupku hingga harus terbayang dalam mimpi.
Saat terbangunm langit telah gelap, hanya cahaya bintang yang menggantung di langit yang tinggi dan mewarnainya. Kondaraan yang lewat tak kalah sepinya seperti sebelum tertidur tadi. Aku lalu bangkit dari tempat dudukku lalu kemudian melangkah menyusuri jalan yang hampir setiap hari kulewati. Jalan yang telah menjadi saksi dalam setiap langkah dan keluhku, jalan yang menjadi pengharapan agar suatu saat nanti membawaku pada kehidupan yang lebih baik, setidaknya lebih baik dari hari ini.


Adhy Wj

No comments:

 

Total Pageviews

Pages