Makassar, 26 Mei 2014
Kamu masih berada
disampingku saat Mentari dari upuk barat mulai tenggelam kala itu, senyum indah
dari raut wajahmu pun masih menceriakan hariku, kahangatanmu pun masih aku
rasakan saat kau dekap tubuh dan kau sandarkan kepalamu dibahuku. Canda tawa
silih berganti melengkapi keceriaan. Begitu bahagia saat kau tawarkan kehidupan
bersamaku, kau tawarkan langkah bersama tuk mengarungi sisa kehidupan kita.
Pikiranku mengawan jauh tuk menyambut tawaranmu karena itu pun inginku, kuingin
ciptakan rumah sederhana untukmu, rumah yang akan menjadi tempat bertedu saat
hujan mengguyuri bumi, sekaligus rumah yang akan manjadi persinggahan dan rumah
itu pulalah yang akan menjadi saksi saat kita mengukir cerita dibuku tua itu.
Kini mentari itu telah
tenggelam dan hanya menyisakan kegelapan, aku tak dapat melihat apapun saat
itu, kamu yang selama
ini selalu menjadi penerangku pun kini tak ada didekatku, hanya gelap, gelap dan tak ada yang dapat kulihat dari sisi mataku, aku bingung, ku mencoba menembus kegelapan tuk menemukan jalan yang akan mengeluarkanku dari tempat ini, lalu kamu di mana? Mengapa kamu biarkan aku sendiri dalam kegelapan tanpamu. Aku melangkah namun tak sedikitpun ku temui dirimu, ku raba sisi kiri dan kananku namun tanganku hanya mengawan dalam kekosongan.
ini selalu menjadi penerangku pun kini tak ada didekatku, hanya gelap, gelap dan tak ada yang dapat kulihat dari sisi mataku, aku bingung, ku mencoba menembus kegelapan tuk menemukan jalan yang akan mengeluarkanku dari tempat ini, lalu kamu di mana? Mengapa kamu biarkan aku sendiri dalam kegelapan tanpamu. Aku melangkah namun tak sedikitpun ku temui dirimu, ku raba sisi kiri dan kananku namun tanganku hanya mengawan dalam kekosongan.
Kusandarkan diriku didinding
yang hendak roboh, aku duduk meratapi kondisiku saat ini, kondisi yang
membawaku jauh terpuruk, hal yang tak pernah terbayang sama sekali. Ku hanya
bisa terdiam saat malam membawaku pada kesedihan yang semakin dalam, ku begitu
terluka, hingga ku tak sadar air mata telah menetes dan berjatuhan dilantai dan
membasahi tanah. Pedihku semakin dalam, sakit, hatiku tak dapat lagi menahan
luka ini.
Lalu, apa artinya tawaranmu selama
ini, untuk apa kau tawarkan kehidupan bersamaku, untuk apa kau janjikan langkah
namun akhirnya kau meninggalkanku sendiri tengah jalan. Lalu, bagaimana dengan
rumah yang akan kita bangun bersama, akankan roboh sebelum kita dirikan. Air
mataku semakin menetes dan begitu sesak dada ini hingga tak dapat membendung
lukaku.
Aku mengingat kembali saat
masih bersama, waktu itu saling berganti menawarkan mimpi.
“Saat kita sudah menikah,
saya ingin membangun rumah di kota, saya akan dekorasi dengan baik namun tetap
sederhana”. Itu katamu
Saya mendengar dengan hati
yang tenang, karena ku tahu, dan aku mengenalmu, engkau tak pernah menuntut
kemewahan dariku, bahkan selama ini engkaulah yang selalu menutupi
kekuranganku.
Lalu ko’ di kota? Bukankah tinggal
di desa lebih menyenangkan?
“Tidak kak, saya ingin
tinggal di kota karena saya memikirkan jika anak-anak kita lahir kelak, saya
tak ingin pendidikannya tertinggal jika di desa, cukuplah saya yang rasakan,
baru mengenal teknologi saat duduk dibangku sekolah menegah kujuruan”.
Begitu bahagia rasanya
memilikimu, sungguh wanita yang sangat aku idamkan. Aku pun menjanjikan
kehidupan yang layak untukmu, dan juga anak-anak kita kelak. Aku berjanji akan
bekerja keras untuk mendapatkan pekerjaan, dan dengan itu kita dapat menutupi
kehidupan kita nanti. Lalu Aku memelukmu, mencium keningmu dan kembali
kurasakan ketenangan.
Begitu indah mimpi kita dek,
sangat indah, dan keindahan itulah menyesakkan hatiku saat ini. Aku belum
benerima keadaan bahwa aku telah kehilanganmu, aku tak ingin tersadar dari
mimpi itu, aku tak ingit tersadar bahwa aku telah sendiri. Rumah yang kita
mimpikan masih terngiang indah dikepalaku, aku masih menyimpannya dipikiranku,
namun akankan aku sanggup membangun rumah itu tanpamu, ataukah hanya
menceritakan kesemua orang tentang mimpi
dan rumah kita layaknya orang gila?
Dek, aku tak tak tahu engkau
ada di mana sekarang, tapi masih ingatkan engkah dengan kehidupan yang engkau
janjikan, masih ingatkah engkau dengan janji bahwa engkau akan menyiapkan
makanan dirumah itu saat aku pulang kerja? Masih ingatkan engkau dengan semua
cerita kita. Kalau aku, cerita itu masih tersimpan indah dek.
Namun, sampai kapan aku
seperti ini, aku pun mengharapkan kehidupan yang tenang, dan bahagia, mungkin
seperti kehidupanmu saat ini.
Dek, biarlah aku tetap
melangkah mengarungi sisa perjalanan ini, aku akan tetap melangkah tuk mencapai
mimpi kita meski engkau tak bersamaku. Tentang mimpi rumah kita, saya akan
membawanya serta, dan jika tuhan memberikanku kesempatan, saya akan membangun rumah
itu dek, saya tak ingin rumah itu roboh dengan sendirinya, cukuplah aku
kehilanganmu, cukuplah aku kehilangan cahayaku, dan aku tahu, rumah yang akan
kubangun tanpa cahaya. Seperti cahaya yang menerangi rumah orang lain.
Dan mungkin aku sendiri
dirimu itu dek, melewati sisa hariku, menghabiskan waktu dengan menulis,
membuat puisi untukmu, meski setiap menulis dan merangkai kata mataku mendung
dan hendak membasahi pipi. Karena aku tak bisa berbuat apa-apa dek.
Semua hanya sekedar mimpi dan
aku takut tersadar.
Adhy Wj
Adhy Wj
No comments:
Post a Comment