About

Sunday, May 25, 2014

CAHAYA "RUMAH MIMPI"

Makassar, 26 Mei 2014
Kamu masih berada disampingku saat Mentari dari upuk barat mulai tenggelam kala itu, senyum indah dari raut wajahmu pun masih menceriakan hariku, kahangatanmu pun masih aku rasakan saat kau dekap tubuh dan kau sandarkan kepalamu dibahuku. Canda tawa silih berganti melengkapi keceriaan. Begitu bahagia saat kau tawarkan kehidupan bersamaku, kau tawarkan langkah bersama tuk mengarungi sisa kehidupan kita. Pikiranku mengawan jauh tuk menyambut tawaranmu karena itu pun inginku, kuingin ciptakan rumah sederhana untukmu, rumah yang akan menjadi tempat bertedu saat hujan mengguyuri bumi, sekaligus rumah yang akan manjadi persinggahan dan rumah itu pulalah yang akan menjadi saksi saat kita mengukir cerita dibuku tua itu.

Kini mentari itu telah tenggelam dan hanya menyisakan kegelapan, aku tak dapat melihat apapun saat itu, kamu yang selama
ini selalu menjadi penerangku pun kini tak ada didekatku, hanya gelap, gelap dan tak ada yang dapat kulihat dari sisi mataku, aku bingung, ku mencoba menembus kegelapan tuk menemukan jalan yang akan mengeluarkanku dari tempat ini, lalu kamu di mana? Mengapa kamu biarkan aku sendiri dalam kegelapan tanpamu. Aku melangkah namun tak sedikitpun ku temui dirimu, ku raba sisi kiri dan kananku namun tanganku hanya mengawan dalam kekosongan.

Kusandarkan diriku didinding yang hendak roboh, aku duduk meratapi kondisiku saat ini, kondisi yang membawaku jauh terpuruk, hal yang tak pernah terbayang sama sekali. Ku hanya bisa terdiam saat malam membawaku pada kesedihan yang semakin dalam, ku begitu terluka, hingga ku tak sadar air mata telah menetes dan berjatuhan dilantai dan membasahi tanah. Pedihku semakin dalam, sakit, hatiku tak dapat lagi menahan luka ini.

Lalu, apa artinya tawaranmu selama ini, untuk apa kau tawarkan kehidupan bersamaku, untuk apa kau janjikan langkah namun akhirnya kau meninggalkanku sendiri tengah jalan. Lalu, bagaimana dengan rumah yang akan kita bangun bersama, akankan roboh sebelum kita dirikan. Air mataku semakin menetes dan begitu sesak dada ini hingga tak dapat membendung lukaku.

Aku mengingat kembali saat masih bersama, waktu itu saling berganti menawarkan mimpi.
“Saat kita sudah menikah, saya ingin membangun rumah di kota, saya akan dekorasi dengan baik namun tetap sederhana”. Itu katamu
Saya mendengar dengan hati yang tenang, karena ku tahu, dan aku mengenalmu, engkau tak pernah menuntut kemewahan dariku, bahkan selama ini engkaulah yang selalu menutupi kekuranganku.
Lalu ko’ di kota? Bukankah tinggal di desa lebih menyenangkan?
“Tidak kak, saya ingin tinggal di kota karena saya memikirkan jika anak-anak kita lahir kelak, saya tak ingin pendidikannya tertinggal jika di desa, cukuplah saya yang rasakan, baru mengenal teknologi saat duduk dibangku sekolah menegah kujuruan”.

Begitu bahagia rasanya memilikimu, sungguh wanita yang sangat aku idamkan. Aku pun menjanjikan kehidupan yang layak untukmu, dan juga anak-anak kita kelak. Aku berjanji akan bekerja keras untuk mendapatkan pekerjaan, dan dengan itu kita dapat menutupi kehidupan kita nanti. Lalu Aku memelukmu, mencium keningmu dan kembali kurasakan ketenangan.

Begitu indah mimpi kita dek, sangat indah, dan keindahan itulah menyesakkan hatiku saat ini. Aku belum benerima keadaan bahwa aku telah kehilanganmu, aku tak ingin tersadar dari mimpi itu, aku tak ingit tersadar bahwa aku telah sendiri. Rumah yang kita mimpikan masih terngiang indah dikepalaku, aku masih menyimpannya dipikiranku, namun akankan aku sanggup membangun rumah itu tanpamu, ataukah hanya menceritakan kesemua orang tentang mimpi  dan rumah kita layaknya orang gila?

Dek, aku tak tak tahu engkau ada di mana sekarang, tapi masih ingatkan engkah dengan kehidupan yang engkau janjikan, masih ingatkah engkau dengan janji bahwa engkau akan menyiapkan makanan dirumah itu saat aku pulang kerja? Masih ingatkan engkau dengan semua cerita kita. Kalau aku, cerita itu masih tersimpan indah dek.

Namun, sampai kapan aku seperti ini, aku pun mengharapkan kehidupan yang tenang, dan bahagia, mungkin seperti kehidupanmu saat ini.
Dek, biarlah aku tetap melangkah mengarungi sisa perjalanan ini, aku akan tetap melangkah tuk mencapai mimpi kita meski engkau tak bersamaku. Tentang mimpi rumah kita, saya akan membawanya serta, dan jika tuhan memberikanku kesempatan, saya akan membangun rumah itu dek, saya tak ingin rumah itu roboh dengan sendirinya, cukuplah aku kehilanganmu, cukuplah aku kehilangan cahayaku, dan aku tahu, rumah yang akan kubangun tanpa cahaya. Seperti cahaya yang menerangi rumah orang lain.

Dan mungkin aku sendiri dirimu itu dek, melewati sisa hariku, menghabiskan waktu dengan menulis, membuat puisi untukmu, meski setiap menulis dan merangkai kata mataku mendung dan hendak membasahi pipi. Karena aku tak bisa berbuat apa-apa dek.


Semua hanya sekedar mimpi dan aku takut tersadar.


Adhy Wj

No comments:

 

Total Pageviews

Pages